Senin, 31 Oktober 2011

Tujuan Pendidikan

Yang dimaksud tujuan pedidikan adalah target yang ingin dicapai suatu proses pendidikan. Dengan kata lain, pendidikan dapat mempengaruhi performance manusia. Tujuan pendidikan mencakup tiga aspek, yaitu aspek kognitif, yang meliputi pembinaan nalar, seperti kecerdasan, kepandaian dan daya pikir; aspek afektif, yang meliputi pembinaan hati, sepeti pengembangan rasa, kalbu dan rohani; dan aspek psikomotorik, yaitu pembinaan jasmani, seperti kesehatan badan dan keterampilan.
Al-Ghazali secara eksplisit menempatkan dua hal penting sebagai orientasi pendidikan, pertama, mencapai kesempurnaan manusia untuk secara kualitatif mendekatkan diri kepada Allah SWT.[1] Kedua, mencapai kesempurnaan manusia untuk meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Menurut Al-Ghazali, kebahagiaan dunia akhirat merupakan seuatu yang paling esensi bagi manusia. Kebahagiaan dunia dan akhirat memiliki nilai universal, abadi dan lebih hakiki. Sehingga pada akhirnya orientasi kedua akan sinergis bahkan menyatu dengan orientasi yang pertama.[2]
       Menurut Ibn Khaldûn, tujuan pendidikan beraneka ragam dan bersifat universal. Di antara tujuan pendidikan tersebut adalah:
a.      Tujuan peningkatan pemikiran
           Ibn Khaldûn memandang bahwa salah satu tujuan pendidikan adalah memberikan kesempatan kepada akal untuk lebih giat dan melakukan aktivitas. Hal ini dapat dilakukan melalui proses menuntut ilmu dan keterampilan. Tujuan pendidikan Ibn Khaldûn adalah peningkatan kecerdasan manusia dan kemampuannya berfikir.[3]
            Tujuan pendidikan akal bermaksud mengembangkan intelegensi yang mengarahkan seorang manusia sebagai individu untuk dapat menemukan kebenaran yang sebenar-benarnya. Telaah tanda-tanda kekuasaan Allah dan penemuan pesan ayat-ayatNya membawa iman kepada Sang Pencipta segala sesuatu yang ada ini. Pendidikan yang dapat membantu tercapainya tujuan akal atau tujuan pengembangan intelektual ini dengan kesediaan para pencari ilmu pengetahuan, seharusnya dengan bukti-bukti yang memadai dan relevan berkenaan dengan apa yang mereka pelajari. Tingkatan fakta-fakta, yang salah satunya mempunyai sasaran terhadap obyek biasanya memberi pemahaman yang lebih baik.[4]
b.      Tujuan peningkatan kemasyarakatan
            Dari segi peningkatan kemasyarakatan, Ibn Khaldûn berpendapat bahwa ilmu dan pengajaran adalah lumrah bagi peradaban manusia. Ilmu dan pengajaran sangat diperlukan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat manusia ke arah yang lebih baik. Semakin dinamis budaya suatu masyarakat, maka akan semakin bermutu dan dinamis pula keterampilan di masyarakat tersebut.[5]
        Untuk itu, manusia seyogyanya senantiasa berusaha memperoleh ilmu dan keterampilan sebanyak mungkin sebagai salah satu cara membantunya untuk dapat hidup dengan baik dalam masyarakat yang dinamis dan berbudaya. Jadi, eksistensi pendidikan menurutnya merupakan satu sarana yang dapat membantu individu dan masyarakat menuju kemajuan dan kecemerlangan.
c.      Tujuan penigkatan rohani
      Tujuan pendidikan dari segi kerohanian adalah dengan meningkatkan kerohanian manusia dengan menjalankan praktek ibadat, zikir, khalwat (menyendiri) dan menasingkan diri dari dari khalayak ramai sedapat mungkin untuk tujuan ibadah sebagaimana yang dilakukan oleh para sufi.[6]
      Tujuan pendidikan menurut al-Tahtawi adalah untuk pembentukan kepribadian, tidak hanya untuk kecerdasan. Lebih dari pada itu, tujuan pendidikan juga berupaya menanamkan rasa patriotisme. Patriotisme merupakan dasar utama yang membawa seseorang untuk membangun masyarakat maju.[7] Sedangkan menurut Mahmud Yunus, tujuan pendidikan adalah menyiapkan anak-anak agar di waktu dewasa kelak mereka cakap melakukan pekerjaan dunia dan amalan akhirat, sehingga tercipta kebahagiaan di dunia dan di akhirat.[8]
           Tujuan pendidikan Islam menuurut Quraish Syihab adalah membina manusia agar mampu menjalankan fungsinya sebagai abd Allah dan khalifahnya, manusia yang memiliki unsur-unsur jasmani, akal dan jiwa. Pembinaan akalnya akan menghasilkan ilmu, sedangkan pembinaan jasmaninya menghasilkan keterampilan dan pembinaan jiwa menghsailkan akhlak (moral) yang dilakukan secara integral. Dengan demikian, terciptalah makhluk dwi-dimensi dalam satu keseimbangan ilmu, amal dan iman.[9]


[1] Muhammad Athiyyah al-Abrasyi, Al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falsafatuha, (Kairo: Isa al-Babiy al-Halabiy, 1975), h. 238
[2] Asrorun Ni’am Sholeh, Reorientasi Pendidikan Islam: Mengurai Relevansi Konsep Al-Ghazali dalam Konteks Kekinian, ( Jakarta: ELSAS Jakarta, 2006), h. 78
[3] Umar Muhammad al-Toumi al-Syaibany, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah, (Tripoli Libia: al-Syarikah al-Ammah li al-Nasyr al-Tauzi wa al-I’kan, 1975) h. 1018
[4] Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an, (Jakarta, Rineka Cipta, 1994), h. 137
[5] Abd. Al-Rahman Ibn Khaldûn, Muqaddimah Ibn Khaldûn, Tahqîq Ali Abd al-Wahîd Wafi, (Cairo: Dar al-Nahdhah), h. 1024.
[6] Abd. Al-Rahman Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, Tahqiq Ali Abd al-Wahid Wafi, (Cairo: Dar al-Nahdhah), h. 1097.
[7] Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age, (London : Oxford University Press, 1962) h. 81
[8] Mahmud Yunus, Pokok-Pokok Pendidikan dan Pengajaran (Jakarta: Hidakarya Agung, 1920), h. 15
[9] Quraish Syihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 2002), h. 173

Tidak ada komentar:

Posting Komentar