1. Hamka
Hamka adalah singkatan nama dari Haji Abdul Malik karim Amrullah Datuk Indomo. Ia lahir di Sungai Batang Maninjau Sumatra Barat, pada tanggal 16 Februari 1908 M bertetpatan dengan tanggal 13 Muharram 1326 H. Lahir dari pasangan Haji Abdul Karim Amrullah dan Shafiyah Tanjung, sebuah keluarga yang taat beragama. Ayahnya adalah seorang ulama besar dan pembawa paham-paham pembaruan Islam di Minagkabau. Ia meninggal pada tanggal 22 Juli 1981 di Rumah Sakit Pertamina Jakarta dalam usia 73 tahun.[1]
Bagi Hamka tauhid berarti mengakui bahwa Tuhan hanya satu. Keesaan Allah merupakan satu-satunya zat yang dipertuhankan oleh manusia dan menjadi titik tolak seorang muslim dalam memandang hidupnya. Apabila orang telah memiliki tauhid, niscaya kepercayaannya akan mendorong dirinya agar senantiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang diterima dengan rela oleh Tuhan dan niscaya di dalam hidupnya senantiasa menempuh jalan lurus.
Manusia harus memiliki jiwa tauhid sehingga ia menjadi manusia yang beriman dengan sebenarnya iman. Salah satu usaha untuk menanamkan dan menguatkan jiwa tauhid adalah melalui pendidikan. Namun, pendidikan itu pun harus memiliki prinsip tauhid. Pendidikan dengan tauhid sebagai prinsip utama akan memberi nila tambah bagi manusia dan menumbuhkan kepercayaan pada dirinya serta mempunyai pegangan hidup yang benar. Bagi orag yang tidak menjadikan tauhid sebagai dasar pendidikan maka ia seakan kehilangan tempat berpijak. Keimanan akan menjadikan si pemiliknya mampu untuk mengendalikan hawa nafsu, dan menempatkan pada ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul, tempat memulangkan segala persoalan yang diperselisihkan.[2]
Pendidikan bermula dari prinsip Tauhid. Hal inilah yang menjadi dasar pijakan dalam pandangan terhadap pendidikan. Prinsip Tauhid mencakup konsep filosofis maupun metodologis yang terstruktur dan koheren terhadap pemahaman kita terhadap dunia dan seluruh aspek kehidupan. Tauhid mengajarkan kita untuk menghimpun pandangan yang holistik, terpadu, dan komprehensif terhadap pendidikan.
Pendidikan modern (baik Islam maupun Barat) secara umum berdasarkan pandangan pendidikan yang tidak koheren dan parsial, sehingga siswa dan guru jarang sekali punya pandangan yang sama tentang proses pendidikan secara menyeluruh. Kebanyakan siswa meninggalkan sekolah sekitar umur 13-17 tahun tanpa mempunyai tujuan hidup yang jelas, bahkan yang mereka pikirkan hanya mendapatkan kerja.
Lebih dari itu, prinsip Tauhid menuntut para pendidik mempunyai pandangan yang menyeluruh dan tujuan sejati terhadap pendidikan dan kehidupan itu sendiri. Oleh karena itu, konsep Tauhid harus menjadi landasan tentang bagaimana kita mendidik anak, termasuk (1) apa yang diajarkan (isi), (2) bagaimana kita mengorganisir dan apa yang harus diajarkan, (3) bagaimana kita mengajarkannya. Akhirnya, Tauhid haruslah membentuk fondasi pemikiran, metodologi, dan praktik pendidikan kita.[3]
Menurut Hamka, selain prinsip tauhid ada dua prinsip dasar yang dapat menunjang dan menjadikan kemajuan dan kejayaan manusia, yaitu prinsip keberanian dan prinsip kemerdekaan berfikir.[4] Kedua prinsip ini menimbulkan berbagai macam pengetahuan dan tanpa keduanya ilmu pengetahuan tidak pernah muncul serta kejayaan manusia hanya berada dalam angan-angan. Prinisp kemerdekaan berfikir, menurutnya merupakan pangkal kemajuan dunia. Jika bukan karena kebebasan berfikir, tentu manusia tetap berada dalam kondisi statis, dan tidak dapat mencapai kemajuan dalam langkah hidupnya. Kebebasan berfikir menyebabkan manusia berusaha terus-menerus, berlomba dalam kecepatan informasi dan komunikasi.[5]
2. Mohammad Natsir
Mohammad Natsir, yang lebih populer dengan panggilan Natsir, dilahirkan di Alahan Panjang, Sumatra Barat pada tanggal 17 Juli 1908 M adalah seorang yang sangat terkenal dengan pergerakan kemerdekaan Republik Indonesia. Sebagai seorang tokoh, Natsir telah memberikan arti yang sangat penting dalam sejarah kemerdekaan Republik Indonesia.
Natsir berasal dari keluarga bersahaja, ayahnya seorang pegawai rendah sebagai juru tulis pada kantor Kontroler di Maninjau, bernama Mohammad Idris Sutan Saripodo. Natsir mempunyai tiga orang saudara kandung yaitu, Yukinan, Rubiyah, dan Yohanusun. [6]
Salah satu konsep yang terkenal dari Natsir adalah konsep pendidikan yang integral, harmonis dan universal. Konsep ini merupakan hasil dari ijtihad dan renungan yang digali Natsir langsung dari al-Qur’an dan Hadis. Konsep pendidikan tersebut juga merupakan reaksi serta refleksi natsir terhadap kenyataan sosio historis yang ditemukannya di masyarakat. Konsep tersebut menurut Natsir ternyata tidak atau belum ditemukan dalam masyarakat Islam di mana pun. Natsir meniali bahwa pendidikan yang dilaksanakan oleh masyarakat Islam tidak sesuai dengan konsep pendidikan ideal yang dicita-citakan Natsir. Konsep pendidikan yang ada adalah konsep pendidikan yang bersifat parokhial, diferensial, dikotomis dan disharmonis bukan konsep yang unversal, integral, dan harmonis. Kondisi tersebut menurutnya diakibatkan dunia Islam sekian lama berada dlam alam kegelapan karena didominasi oleh pemikiran tasawuf dan berada dalam penjajahan Barat selama berabad-abad.[7]
Menurutnya, pendidikan yang Islami adalah pendidikan yang mengambil yang baik dari manapun datangnya dan menyingkirkan yang buruk dari manapun datangnya.[8] Pendapat ini memperkuat prinsip Natsir yang menyatakan bahwa pendidikan Islam bersifat universal dan sekaligus integral dan harmonis. Menurut Natsir, kemajuan yang ingin dicapai dalam pendidikan Islam tidaklah diukur dengan penguasaan duniawi saja, akan tetapi sampai di mana kehidupan duniawi memberikan aset kehidupan di akhirat kelak. Konsep pendidikan yang integral, universal, dan harmonis ini pada dasarnya merupakan konsepsi yang dimaksudkan untuk memperbaiki kondisi empirik umat Islam pada masa itu.[9]
Islam tidak melakukan pemisahan antara ilmu (sains) dengan agama (al-Din). Dalam Islam, pengertian ilmu bersifat komprehensif. Karena itu pendidikan Islam harus bersifat komprehensif, yakni mencakup rasional, estetis dan etis. Ketiga aspek itu tidak dapat dipisahkan dan dilaksanakan secara integral.[10] Namun, akibat pengaruh sistem pendidikan yang cenderung sekuler, pendidikan Islam terpecah ke dalam tiga bentuk, yakni sistem pesantren, madrasah dan sekolah/perguruan tinggi islam. Sistem pesantren berorientasi kepada tercapainya ahli ilmu agama. Sedangkan sistema madrasah berorientasi kepada penguasaan ilmu umum sebagai tujuan sekundernya, dan tujuan primer sistem sekolah/perguruan tinggi adalah penguasaan ilmu-ilmu umum, sementara ilmu agama justru menjadi tujuan sekunder.[11]
Mohammad natsir mengatakan bahwa tidak ada dikotomi antara pendidikan agama dengan pendidikan umum, meskipun keduanya baik dari aspek kurikulum, sarana, maupun metodologi pengajarannya. Artinya, meskipun dari lembaga pendidikan islam sudah berlangsung sejak zaman Rasulullah dan sistem sekolah mulai berlaku sejak masa kolonial belanda, tetapi keduanya bisa disinergiskan dengan mengambil sisi-sisi positif untuk dterapkan guna memenuhi kekurangan satu sama lainnya. Yang terpenting bagi Natsir bahwa lembaga pendidikan tidak boleh mempertetangkan antara “dunia” dan “akhirat”. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya ialah lembaga pendidikan harus konsisten kepada tujuan tertentu, dan tidak mengabaikan penanaman nilai-nilai tauhid. Tujuannya yaitu untuk Ta’abbudi (mengabdi atau memperhambakan diri kepada Allah SWT). Inilah konsep pendidikan yang integral, universal, dan harmonis, yang tidak mengenal dikotomi antara pendidikan agama dengan pendidikan umum, sebaliknya perlu membangun keterpaduan dan keseimbangan antara keduanya.
Di salah satu tulisannya, Mohammad Natsir membagi pola keseimbangan di lembaga pendidikan Islam meliputi: 1. Keseimbangan antara kehidupan yang duniawi dan ukhrawi. 2. Keseimbangan antar badan dan ruh. Dan ketiga keseimbangan antara individu dan masyarkat.[12]
Rumusan tentang pendidikan yang integral, harmonis dan universal tersebut di ilhami oleh filasafat integralistik yang menyatukan antar jiwa dan raga. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, dimulai dari pandangan masyarkat yang utuh tentang Islam.[13] Karena itu, natsir mengajak bahwa sebagai hamba Allah, jasmani dan rohani, dunia dan akhirat, bukanlah dua barang yang bertentangan dan yang harus dipisahkan, melainkan dua serangkai yang saling melengkapi dan melebur satu susunan yang harmonis dan seimbang.[14]
3. Abudin Nata
Abudin Nata lahir di Bogor, 2 Agustus 1954. Setelah menamatkan Madrasah Ibtidaiayah Wajib Belajar di Nagrog, Ciampen Bogor pada tahun 1968, ia melanjutkan pendidikan pada Pendidikan Guru Agama 4 tahun sambil mondok di Pesantren Nurul Ummah di alamat yang sama dan tamat tahun 1972. Setelah itu pendidikannya dilanjutkan pada Pendidikan Guru Agama 6 tahun sambil mondok di pesantren Jauharatun Naqiyah, Cibeber, Serang, Banten dan tamat tahun 1974.[15]
Menurutnya, terdapat tiga prinsip utama yang membentuk karakteristik asasi pendidikan Islam, yaitu:
1. Penciptaan yang bertujuan
Berkaitan dengan Penciptaan yang bertujuan, dalam pandangan Islam, pendidikan merupakan proses yang suci untuk mewujudkan tujuan asasi hidupnya, yaitu beribadah kepada Allah dengan segala maknanya yang luas. Dari penciptaan yang bertujuan tersebut dapat dikatakan bahwa pendidikan merupakan bentuk tertinggi ibadah dalam Islam dengan alam sebagai lapangannya, dan hidup beriman sebagai tujuannya.[16]
Pada prinsipnya, setiap perbuatan orang mukmin yang ditujukan untuk mencapai keridhaan Allah SWT. Termasuk dalam pengertian ibadah. Atas dasar prinsip tersebut proses pendidikan pun merupakan ibadah kepada Allah SWT. Guru yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain adalah orang yang beribadah kepada Allah SWT. Demikian pula siswa yang sedang mencari kebenaran.
Oleh karena manusia sebagai sasaran taklifi Allah SWT. Dan sebagai makhluk yang paling mulia dapat diartikulasikan bahwa manusia juga merupakan pusat proses pendidikan. Manusia sebagai pusat proses pendidikan dapat dilihat karena Allah SWT. Mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya dan dari pengajaran Allah SWT terhadap Nabi Adam a.s, dengan demikian Allah SWT. Adalah sebagai pendidik yang memberikan berbagai pengetahuan kepada manusia dan manusia sebagai murid yang menerima pelajaran dari Allah SWT.[17]
2. Kesatuan yang menyeluruh
Berkaitan dengan kesatuan yang menyeluruh, refleksi prisnsip kesatuan dalam filsafat Islam tampak pada proses pendidikan. Pertama, prinsip kesatuan perkembangan individu dalam kerangka perkembangan masyarakat dan dunia; kedua, prinsip kesatuan umat manusia yang merupakan karakteristik universalitas dalam pendidikan Islam; dan ketiga, prinsip kesatuan pengetahuan yang menacakup berbagai disiplin ilmu dan seni.[18]
Dalam kesatuan pengetahuan yang mencakup berbagai disiplin ilmu dan seni, pendidikan Islam menghargai dan menganggap penting semua pengetahuan yang berguna bagi individu dan masyarakat, tanpa membeda-bedakan antara ilmu keagamaan dan ilmu keduaniaan. Pendidikan Islam menekankan pentingnya setiap individu memiliki ilmu keagamaan yang cukup untuk melaksanakan ibadah serta ilmu keduniaan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Semua hal tersebut tidak mengenal dikotomi, karena semua ilmu tersebut adalah bersumber dari yang sama, yaitu al-Qur’an dan Hadis.[19]
3. Keseimbangan yang kokoh
Mengenai Keseimbangan yang kokoh, prinsip keseimbangan ini membias pada pendidikan Islam seperti keseimbangan antara teori dan penerapan, antara pengetahuan kemanusiaan yang berguna bagi individu dan masyarakat, serta antara pengetahuan fardhu ‘ain dan fardhu kifayah dalam semua lapangan pengetahuan, baik keagamaan maupun keduniaan.[20]
Dengan demikian, dikotomi ilmu pengetahuan dan maupun dikotomi pendidikan yang selama ini sering dibicarakan tidak dikenal oleh al-Qur’an dan Hadis. Dalam keseimbangan antar teori dan penerapan serta perkataan dan perbuatan, pendidikan Islam menekankan azas pragmatis dan manfaat bagi individu dan masyarkat dalam menghadapi realitas hidup. Hal ini merupakan fungsi pendidikan sebagai proses yang membawa individu dan masyarakat menuju perkembangan dan kemajuan.[21] Abu Hamid al-Ghazali mengatakan: “Ilmu tanpa pengamalan adalah suatu kegilaan, dan pengetahuan tanpa dilandasi ilmu tidak mempunyai eksistensi.”[22]
Di samping keseimbangan-keseimbangan yang telah disebutkan di atas, keseimbangan antara pengembangan kecenderungan spritual dan kebutuhuan material serta sosial mendapat perhatian penting dalam dalam pendidikan Islam. Azas ini digali antara lain dari penolakan Rasulullah saw. Terhadap sebagian sahabat yang menekankan pendidikan diri mereka pada aspek spriritual mutlak, bahkan aspek rubbaniyyah (kerahiban) yang berakibat pengasingan diri dari masyarakat.[23]
[10] Fu’ad hasan, Pendidikan Islam dalam sorotan: Catatan selayang pandang (Jakarta: dimuat dalam suara masjid, 1985), h. 52
[11] A.M. Saefudin, Konsep pendidikan islam: sebuah pendekatan integratif inofatif (Jakarta: dimuat dalam suara masjid, 1985), h. 79
[15] Abudin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam Di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), h. 451
[16] Hery Noer Aly dan Munzier S, Watak Pendidikan Islam (Jakarta: Friska Agung Mandiri, 2000), h. 55
Tidak ada komentar:
Posting Komentar