Untuk menunjukan istilah pendidikan, manusia mempergunakan terma istilah tertentu. Daam bahasa inggris, penunjukan tersebut dengan menggunakan istilah education.[1] Dalam bahasa Arab, pengertian kata pendidikan, sering digunakan pada beberapa istilah, antara lain, al-ta’lîm التعليم, al-tarbiyah التربية, dan al-ta’dîb التأديب. Namun demikian, ketiga kata tersebut memiliki makna tersendiri dalam menunjukan pada pengertian pendidikan.
a. Kata al-ta’lîm التعليم merupakan masdar dari kata ‘allama علم yang berarti pengajaran yang bersifat pemberian atau penyampaian pengertian, pengetahuan, dan keterampilan. al-ta’lîm (transformasi ilmu pengetahuan) bukanlah interaksi antara pendidik dan anak didik yang formal dan kaku. al-ta’lîm juga tidak terfokus pada mengejar target materi pelajaran yang berorientasi kualitas simbolik. al-ta’lîm mementingkan keseimbangan dua sisi; dunia-akhirat, lahir-batin, rasional-irasional, substansi-formalitas, dan seterusnya.[2] Firman Allah SWT.
31. Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!" (QS. al-Baqarah: 31)
Rasyid Ridha mendefinisikan al-ta’lîm sebagai proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan kepada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan.[3] Muhammad Naquib al-Attas mengartikan al-ta’lîm dengan pengajaran tanpa pengenalan secara mendasar.[4]
b. Kata al-tarbiyah التربية, merupakan masdar dari kata rabba (رب) yang berarti mengasuh, mendidik, dan memelihara. Dalam leksikologi al-Qur’an, penunjukan kata al-tarbiyah yang merujuk pada pengertian pendidikan, secara eksplisit tidak ditemukan.[5] Muhaimin dan Abdul Majid berpendapat bahwa al-tarbiyah merupakan proses transformasi ilmu pengetahuan dari tingkat dasar menuju tingkat berikutnya. Secara aplikatif, proses tarbiyah bermula dari pengalaman, hafalan dan ingatan sebelum menjangkau pada tahap penalaran dan pemahaman.[6] Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, mengartikan tarbiyah sebagai “Proses penyampaian sesuatu sampai pada batas kesempurnaan yang dilaksanakan secara gradual.”[7]
Sedangkan Muhammad ‘Athiyyah al-Abrasy mendefinisikan tarbiyah dengan upaya mempersiapkan individu untuk kehidupan yang lebih sempurna, kebahagiaan hidup, cinta tanah air, kekuatan raga, kesempurnaan etika, sistematik dalam berfikir, tajam perasaan, kesungguhan berkereasi, toleransi, kompetensi dalam bahasa dan terampil.[8]
c. Kata al-ta’dîb التأديب, merupakan masdar dari addaba أدب, yang berarti pendidikan, perbaikan, dan pendisiplinan.[9] al-ta’dîb didefinisikan dengan “proses pendidikan yang berorientasi pembentukan pribadi anak didik yang beradab, taat hukum, menjunjung tinggi etika atau sopan santun.” Proses al-ta’dîb harus didasarkan pada komitmen kuat untuk membangun moralitas manusia dan dimulai dari diri sendiri. Dalam al-ta’dîb, seorang pendidik harus selalu sadar bahwa proses al-ta’dîb tidak pernah lepas dari arahan Allah. Tuhan ikut campur dengan mengarahkan langkah pendidik.[10]
Menurut Muhammad al-Naquib al-Attas, penggunaan terma al-ta’dîb lebih cocok digunakan dalam diskursus pendidikan Islam, dibanding penggunaan terma al-ta’lîm maupun al-tarbiyah. Hal ini disebabkan, karena pengertian term al-ta’lîm hanya ditujukan pada proses pentransferan ilmu (proses pengajaran), tanpa adanya pengenalan lebih mendasar pada perubahan tingkah laku. Sedangkan terma al-tarbiyah penunjukan makna pendidikannya masih bersifat umum. Terma ini berlaku bukan saja kepada proses pendidikan pada manusia, akan tetapi juga ditunjukan pada proses pendidikan kepada selain manusia. Padahal diskursus pendidikan Islam hanya ditujukan kepada proses-proses pendidikan yang dilakukan manusia dalam upaya memiliki kepribadian muslim yang utuh, sekaligus membedakannya dengan mahluk Allah lainnya. Dalam konteks ini, lebih lanjut menurut al-Attas, penggunaan terma al-ta’dîb lebih dapat digunakan bagi pendidikan Islam. Pengertian yang dikandungnya mencakup semua wawasan ilmu pengetahuan, baik teoritis maupun praktis yang terformulasi dengan nilai-nilai tanggungjawab dan semangat Ilahiah sebagai bentuk pengabdian manusia kepada Khaliqnya. Terma ini merupakan bentuk esensial dari pendidikan Islam dan sekaligus mencerminkan tujuan hakiki pendidikan Islam.[11]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa pendidikan ialah: "Proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan".[12] Ki Hajar Dewantara menyatakan: "Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan bathin), pikiran (intellect) dan jasmani anak-anak selaras dengan alam dan masyarakatnya".[13] Muhammad Natsir dalam tulisannya Ideology Islam, menulis: "Yang dinamakan pendididikan, ialah satu pimpinan jasmani dan rohani yang menuju kepada kesempurnaan dan kelengkapan arti kemanusiaan dengan arti sesungguhnya".[14] Ahmad D. Marimba mengajukan definisi pendidikan sebagai berikut: "Pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama".[15]
Pendidikan menurut Prof. Dr. Omar Muhammad Al-Touny al-Syaebani, diartikan sebagai “usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitarnya melalui proses kependidikan. Hasil rumusan Seminar Pendidikan Islam se-Indonesia tahun 1960, memberikan pengertian pendidikan: “Sebagai bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh, dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam.[16]
Pendidikan sebenarnya dapat ditinjau dari dua segi. Pertama dari sudut pandangan masyarakat, dan kedua dari segi pandangan individu. Dari segi pandangan masyarakat, pendidikan berarti pewarisan kebudayaan dari generasi tua kepada generasi muda, agar hidup masyarakat tetap berlanjutan. Atau dengan kata lain, masyarakat mempunyai nilai-nilai budaya yang ingin disalurkan dari generasi ke generasi agar identitas masyarakat tersebut tetap terpelihara. Nilai-nilai ini bermacam-macam. Ada yang bersifat intelektual, seni, politik, ekonomi dan lain-lain lagi. Dalam berbagai hal nilai-nilai budaya ini berpadu dalam suatu karya seperti pada binaan rumah. Dalam bangunan rumah, nampak jelas warisan intelektual, seni, ekonomi, politik, agama dan lain-lain dari bangsa dan masyarakat yang menciptakannya. Inilah yang disebut kepribadian atau identitas. Itu sebab bentuk rumah dan ukirannya berbeda-beda menurut budaya bangsa yang menciptakannya. Bentuk rumah orang Eksimo berbeda dengan rumah orang Afrika yang berbeda dengan rumah orang jepang dan selanjutnya berbeda dengan rumah orang indonesia. Setiap masyarakat berusaha mewariskan keahlian dan keterampilan yang dipunyainya itu kepada generasi mudanya agar masyarakat tersebut tetap memelihara kepribadiannya yang berarti memlihara kelanjutan hidup masyarakat tersebut. Inilah dia pendidikan ditinjau dari segi kacamata masyarakat.[17]
Dilihat dengan kaca mata individu, pendidikan berarti pengembangan potensi-potensi yang terpendam dan tersembunyi. Individu itu laksana lautan dalam yang penuh mutiara dan bermacam-macam ikan, tetapi tidak tampak. Ia masih berada di dasar laut. Ia perlu dipancing dan digali supaya dapat menjadi makanan dan perhiasan bagi manusia. Manusia mempunyai berbagai bakat dan kemampuan yang kalau pandai kita mempergunakannya bisa berubah menjadi emas dan intan, bisa menjadi kekayaan yang berlimpah-limpah. Kemampuan intelektual saja beraneka ragam. Kemampuan bahasa, menghitung, mengingat, berfikir, dayacipta dan lain-lain. Malah menurut Guilford (1956) kemampuan intelektual ini terdiri dari 120 macam. Sudah tentu sampai sekarang kemampuan-kemampuan itu belum dapat dipergunakan semuanya. Tetapi hasilnya, manusia sudah sampai ke bulan dan menciptakan teknologi yang tinggi. Artinya biarpun dengan kemampuan akal yang terbatas manusia sudah dapat menjelajah angkasa raya. Jadi pendidikan menurut pandangan individu adalah menggarap kekayaan yang terdapat pada setiap individu agar ia dapat dinikmati oleh individu dan selanjutnya oleh masyarakat.[18]
Pendidikan dan pengajaran
K.H. Dewantara berpendapat bahwa pengajaran itu adalah sebagian dari pendidikan. Ia menyatakan sebagai berikut: “Pengajaran itu tidak lain dan tidak bukan adalah salah satu bagian dari prndidikan. Jelasnya, pengajaran tidak lain adalah pendidikan dengan cara memberikan ilmu atau pengetahuan serta kecakapan.”[19]
[1] Jhon M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Indonesia Inggris, (Jakarta: PT. Gramedia, 2003), h. 144
[2] Attabik Ali dan Muh. Zuhdi Muhdlar, Kamus al-‘Ashry, (Yogjakarta: Muassasah Ali Maksum, 1996) h. 250.
[5] Said Aqil Siradz, Reposisi Kependidikan Islam: Telaah Implementasi UU Sisidiknas Tahun 2003. Makalah disampaikan dalam seminar sehari yang diselenggarakan oleh STAI NU, di Jakarta, 10 September 2003.
[7] Muhammad Jamaluddin al-Qâsimi, Tafsir Mahâsin al-Ta’wîl, (Kairo: Dar Ihya’ al-Turats), juz I, h. 8.
[9] Attabik Ali dan Muh. Zuhdi Muhdlar, Kamus al-‘Ashry, (Yogjakarta: Muassasah Ali Maksum, 1996) h. 445.
[10] Said Aqil Siradz, Reposisi Kependidikan Islam: Telaah Implementasi UU Sisidiknas Tahun 2003. Makalah disampaikan dalam seminar sehari yang diselenggarakan oleh STAI NU, di Jakarta, 10 September 2003, h. 6
[11] Samsul Nizar, Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 85
[12] Tim Penyusunan Kamus Pusat dan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 42
[13] Ki Hajar Dewantara, Masalah Kebudayaan: Kenang-kenangan Promosi Doctor Honoris Causa, (Yogyakarta, 1967) h. 42
Tidak ada komentar:
Posting Komentar