Senin, 31 Oktober 2011

Pendapat ulama tentang pendidikan


1.    Imam Ghazali
Nama lengkap al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali. Ia lahir pada tahun 450 H bertepatan dengan 1059 M di Gazaleh suatu kota kecil yang terletak di Thus, wilayah Khurasan. Beliau wafat di Tabristan wilayah propinsi Thus pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H bertepatan dengan 1 desember 1111 M.[1] Beliau diberi gelar “Bahrun Muqhriq” (laut yang menenggelamkan) oleh gurunya Juawaini.[2]
Menurut pendapat Ghazali, pekerjaan mengajar adalah termasuk karya yang amat mulia dari seluruh pekerjaan yang dapat dilakukan oleh manusia. Pandangan Ghazali terhadap karya mengajar ini dimasanya, memang amat berpengaruh sekali kepada para pengajar dan amat merangsang kepada para mubaligh. Sebenarnya pandangan Ghazali itu melahirkan kegotong-royongan dalam dunia mengajar dan memberi pelajaran tanpa memikirkan materi, gaji dan honor. Tetapi dewasa ini para Ulama dan para Mubaligh amat memperhitungkan materi dan honor dari pekerjaan-pekerajaan mengajar dan bertabligh. Bukan di Indonesia saja, bahkan di seluruh dunia Islam sebagaimana yang kita ketahui sendiri. Bukankah amat bertentangan dengan ajaran Ghazali, bila untuk menjadi Khatib dan Imam di hari-hari Jum’at, kita diberi dan menerima honor dan sedekah pula.[3]
Ghazali menyimpulkan, tujuan pendidikan yan terakhir dalam kata yang amat simpel dan terang sekali serta mudah di pahami, yaitu: “Keutamaan dan pendekatan diri kepada Allah.” Biarpun beraneka ragam ilmu yang dipelajari, biarpun beragam pula metode yang dituruti dan biarpun bertahun-tahun belajar, namun tujuan itu tetap diletakkan di mata dan disematkan di hati. Bila tujuan itu tidak tercapai dan tak dapat diujudkan oleh sang guru dan pelajar, maka Ghazali menghukum pendidikan itu gagal total.[4]
Imam Ghazali termasuk kelompok filosof dan ahli pendidikan yang menentang aliran naluri dan wiratsah dalam dunia pendidikan. Ghazali menyatakan dengan tegas bahwa anak-anak lahir ke dunia seperti selembar kertas putih bersih yang belum ditulisi dan diukir apa-apa. Kata Ghazali, “Anak-anak adalah amanah di tangan ibu-bapanya. Jiwanya yang suci adalah seumpama mutiara yang amat bernilai belum berukir dan berbentuk. Mutiara itu dapat menerima segala ukiran dan bentuk, dan dapat pula dibawa ke arah yang disukai.[5]
Biarpun telah berlalu hampir seribu tahun dari masa Ghazali, namun pandangan Ghazali dalam soal mendidik dan membimbing anak-anak amatlah bernilai dan termasuk kepada ciri pendidikan baru. Ghazali menganjurkan supaya para guru lebih dulu memperhatikan individu anak-anak. Mereka harus dihadapi dan dilayani menurut perkembangan mereka masing-masing. Perhatikan umurnya, karakternya, lingkungannya dan kemauan masing-masing, kemudian ladenilah mereka menurut itu. Amat salah sekali bila guru membawakan satu sistem atau satu cara yang sama ke semua murid-muridnya tanpa memperhitungkan perbedaa-perbedaan yang dimiliki oleh individu masing-masing.
Pandangan Ghazali yang demikian amat bernilai sekali dalam dunia pendidikan. Memperhatikan individu murid-murid di samping mengendalikan kelas secara keseluruhan sesuai benar dengan aliran-aliran pendidikan abad baru, dimana perorangan harus mendapat perhatian di samping keseluruhan murid. Dalton dan Moentessori termasuk ahli-ahli pendidik yang menyerukan supaya perorangan murid harus mendapat pelayanan dari para guru.[6]
2.    Ibnu Chaldun
Nama lengkapnya adalah Abdullah Abd al-Rahman Abu Zayd Ibn Muhammad Ibn Khaldun. Ia dilahirkan di Tunisia pada bulan Ramadhan 732 H/1332 M, dari keluarga ilmuan dan terhormat yang telah berhasil menghimpun antara jabatan ilmiah dan pemerintahan. Suatu jabatan yang jarang dijumpai dan mampu diraih orang pada masa itu.[7]
Manusia sebagai makhluk berfikir, dengan kemampuannya dapat menangkap dan memahami hal-hal yang berada di luar dirinya. Kemampuan itu pada asal mulanya masih berbentuk potensi. Ia menjadi aktual (mencapai satu titik perkembangan) melalui al ta’lim (pendidikan) dan riyâzah (latihan) yang sesuai dengan irama perkembangan fisik dan mentalnya. Atas dasar ini pengaruh dunia luar terperogram dan terencana akan dapat mengoptimalkan potensi manusia ke arah yang lebih sempurna.
Tentang kebutuhan tabi’iyah pendidikan bagi manusia, Ibnu Chaldun menyatakan: “science education are natural to civilization”. Ibnu Chaldun berasumsi, bahwa “jiwa rasional bertahan (dalam bentuknya semula) pada manusia hanya secara potensialitas”. Transformasinyadari potensialitas ke aktulitas disebabkan dua hal. Pertama, disebabkan oleh polesan ilmu dan persepsi baru yang muncul lewat sensibilia. Kedua, oleh pencapaian terakhir ilmu melalui kekuatan spekulatif, hingga benar-benar menjadi persepsi aktual dan intelek murni, maka ia pun menjadi esensi spiritual dan esensinya lalu mencapai kesempurnaan. Bertolak dari asumsi tersebut Ibnu Chaldun mengataakan, bahwa pendidikan merupakan upaya transformatif potensialitas (at Tâqah al Quswâ) manusia. Jadi pendidikan memegang peranan penting dalam peradaban manusia.[8]
Ibnu Chaldun berpendapat, dalam mempelajari satu ilmu, agar dibagi kepada tiga tahap sebagai berikut:
Tahap pertama:
            Tahap ini dinamakan tahap permulaan. Di tahap ini ilmu diberikan secara sederhana, belum terurai. Kepada pelajar diajarkan masalah-masalah yang dianggap induk dan asal dari tiap-tiap bab. Demikianlah sampai ke akhir ilmu tersebut. Tahap ini dewasa ini sama dengan tingkat Sekolah Dasar, tingkat sekolah-sekolah rendah atau SD.
Tahap kedua
            Guru-guru ditahap kedua ini mengulang kembali pelajaran dari awal bab. Pelajaran lebih ditingkatkan dari tahap pertama. Uraian diperluas dan diperinci. Sedang perbedaan pendapat mulai disinggung. Demikianlah dituruti sistem itu sampai tamat pula ilmu tersebut. Dan di tahap ini tentu pelajar telah memiliki ilmu itu. Menurut pendapat kita tahap kedua ini sama dengan sekolah menengah pertama dan atas.
Tahap ketiga
            Ditahap ini adalah tahap akhir bagi pelajar untuk mempelajari ilmu tersebut. Mereka telah lebih cerdas dan telah lebih memilki ilmu tersebut, maka guru mengulang kembali pelajaran dari awal sampai akhir Bab. Di tahap III ini seluruh masalah ilmu itu baik yang sukar atau yang tertanam digali sampai kepada hal-hal yang berkecil-kecil. Pada akhirnya pelajar menamatkan ilmu tersebut dengan memiliki pokok-pokok soal sampai kepada soal-soal yang halus kecil. Tahap ke-III ini dapat disamakan dengan tingkat “Sekolah Tinggi” dewasa ini.[9]
            Menurut pendapat Ibnu Chaldun, sistem tiga tahap dalam mempelajari satu ilmu, itulah sistem yang baik dalam menyelesaikan dan mengajarkan ilmu. Di samping itu IbnuChaldun menyarankan agar guru-guru dalam mengajar kanak-kanak dapat membawakan contoh-contoh berupa benda yang dapat diraba. Dalam hal ini Ibnu Chaldun tampaknya menganjurkan agar guru-guru dalam mengajar anak-anak hendaklah mempergunakan alat peraga. Pendapat ini sesuai betul dengan qaidah-qaidah pengajar yang kita turuti dewasa ini yang berbunyi: “Pindah dari yang mahsus (dapat diraba) kepada yang ma’qul”. Maka disini dapat kita nyatakan bahwa jauh sebelum teori-teori dan metode baru, Ibnu Chaldun telah merasakan perlunya alat peraga dalam memudahkan jalan pengajaran dan memang hal itu sesuai betul dengan ilmu jiwa mengajar.[10]
3.      Ibn Sina
Nama lengkapnya ialah Abu Ali Husein Ibn Abdullah Ibn Hasan Ibn Ali Ibn Sina. Ia dilahirkan di Persia pada bulan Safar tahun 980 M. Ayahnya tinggal di kota Balkh, yaitu sebuah kota yang terletak antara Georgia dan Turkistan. Keluarganya termasuk keluarga kaya dan terpandang. Latar belakang keluarganya yang demikian merupakan faktor yang sangat mendukung dalam pembentukan pribadi ilmiahnya, di samping kecemerlangan otaknya. Dalam usia 18 tahun, ia telah menguasai segala ilmu pengetahuan pada masa itu ; meliputi al-Qur’an dan tafsir, linguistik, sastra, kedokteran, psikologi dan pendidikan.[11]
            Menurut Ibn Sina, pendidik harus melakukan pengamatan tentang apa yang menjadi minat dan bakat peserta didiknya. Pendidik hendaknya berusaha membimbingnya ke arah pengembangan totalitas potensi dan kepribadiannya secara utuh. Hal ini, menurut Ibn Sina merupakan esensi tujuan pendidikan Islam yaitu untuk mengisi lapangan kerja yang ada dalam masyarakat.[12]
            Dalam masalah proses pembelajaran, Ibn Sina telah meletakkan dasar psikologi pendidikan. Hal ini terlihat bahwa ia sangat memperhatikan kondisi psikologi peserta didik. Sikap yang demikian dapat terlihat dari uraiannya mengenai pendidikan peserta didik bila dilihat dari tingkat usia, bakat, dan kemauan peserta didik. Dengan mengetahui latar belakang, bakat, dan kemauan peserta didik, maka bimbingan pendidikan yang diberikan kepada peserta didik akan lebih berhasil.[13]


[1] Zaki Mubarak, Al-Akhlaq ‘Inda al-Ghazali, (Kairo: Dar al-Katib al-‘Arabi, 1968), h. 83
[2] Muhammad Yusuf Musa, Falsafah al-Akhlaq fi al-Islam wa Shliatuha bi al-Falsafah al-Ighriqiyah, (Kairo: Muassasah al-Khalkhi, 1963), h. 126
[3] Nashruddin Thaha, Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam Di Zaman Jaya, (Jakarta: Mutiara, 1979), h.33
[4] Ibid., h. 34
[5] Ibid., h. 35
[6] Nashruddin Thaha, Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam Di Zaman Jaya,  h.36
[7] Abd. Al-Rahman Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, Tahqiq Ali Abd al-Wahid Wafi, (Cairo: Dar al-Nahdhah), Jilid I, h. 40.
[8]Warul Walidin, Konstelasi Pemikiran Pedagogik Ibnu Chaldun: Perspektif Pendidikan Modern, (Yogyakarta: Suluh Press, 2005), h. 82
[9] Nashruddin Thaha, Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam Di Zaman Jaya, (Jakarta: Mutiara, 1979), h.96.
[10] Ibid., h.97
[11] Muhammad Kamil al-Hur, Ibn Sina, (Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1991), h. 10
[12]Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: Quantum Teaching, 2005), h. 33
[13] Jalaludin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam , (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, t.th), h. 138

1 komentar: