Senin, 31 Oktober 2011

WAWASAN AL-QUR’AN TENTANG PRINSIP-PRINSIP PENDIDIKAN


A.     TAUHID
Perkataan tawhîd (diindonesikan menjadi “tauhid”) bukanlah kata yang asing bagi seorang penganut Islam. Secara etimologis tawhîd berasal dari wahhada-yuwahhidu- tawhîdan yang berarti esa, keesaan, atau mengesakan, yaitu mengesakan Allah meliputi seluruh pengesaan.[1] Tauhid ialah mengesakan Allah SWT dalam beribadah kepadaNya. Dan itulah agama semua para rasul yang diutus oleh Allah kepada seluruh hambaNya.[2]
Al-Qur’an tidak pernah menyebut istilah tauhid sedangkan yang terdapat dalam al-Qur’an ialah kata ahad dan wahid.[3] Kata tauhid secara tepat menggambarkan inti ajaran semua nabi dan rasul Tuhan, yang mereka diutus untuk setiap kelompok manusia dibumi ini. Ayat al-Qur’an yang menjadi dasar atau landasan paham tauhid seperti yang sedikit telah diuraikan di atas antara lain sebagai berikut:
a.       Penegasan bahwa Allah itu Esa.

1. Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa.
2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
3. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,
4. dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia." (QS. al-Ikhlas (112): 1-4)

Ayat di atas tegas sekali menyatakan bahwa Allah itu Esa. Kata ahad berarti Esa, tunggal, satu baik dalam zat, sifat maupun perbuatan-Nya. Kata tersebut juga menjadi sifat kemahaesaan dan penafian terhadap persyarikatan.[4]

b.      Semua Rasul Menerima Ajaran Tauhid.
  
25. dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan aku". (QS. al-Anbiya (21): 25.)

Berdasarkan ayat di atas, maka sesungguhnya tauhid atau paham ketuhanan Yang Maha Esa itu sudah diajarkan kepada rasul sebelum Nabi Muhammad dan telah disampaikan kepada umat mereka masing-masing.[5]
Selain ayat tersebut juga terdapat  pada QS. al-Zuhruf (43): 45 dan an-Nahl (16): 36. Kedua ayat yang disebut itu juga menjelaskan bahwa para rasul sebelum Nabi Muhammad telah diajarkan kepada mereka tentang tauhid. Jadi secara umum sejak awal permulaan Islam datang, materi yang diajarkan oleh Rasulullah kepada ummatnya adalah menyangkut berbagai aspek kehidupan manusia, baik materi yang menyangkut keperluan kehidupan pribadi maupun sosial. Yang mula-mula diajarkan Rasulullah di Makkah adalah materi yang menyangkut aspek keimanan (tauhid) dengan bahan dan sumber ajarannya adalah ayat-ayat al-Qur’an dan kepribadian Rasulullah, dengan bertempat di rumah-rumah para sahabat seperti di rumahnya al-Arqam.[6]
Rasuslullah telah memberikan dasar pendidikan kepada para sahabatnya dengan menanamkan nilai-nilai tauhid pada permulaan da’wahnya di Makkah. Di antara ajarannya ialah Firman Allah SWT berikut ini:

13.  Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".( QS. Luqman: 13)

Tafsir
Allah SWT memperingatkan kepada Rasulullah saw nasihat Luqman yang pernah diberikan kepada putranya, waktu ia memberi pelajaran kepada putranya itu. Nasihat itu ialah : “Wahai anakku, janganlah engkau mempersekutukan sesuatu dengan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah itu adalah kezaliman yang sangat besar.”
            Mempersekutukan Allah dikatakan kezaliman, karena perbuatan itu berarti menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, yaitu menyamakan sesuatu yang melimpahkan nikmat dan karunia dengan sesuatu yang tidak sanggup memberikan nikmat dan karunia itu. Dalam hal ini menyamakan Allah SWT sebagai sumber nikmat dan karunia dengan patung-patung yang tidak dapat berbuat sesuatupun. Dikatakan bahwa perbuatan itu adalah kezaliman yang besar, karena yang disamakan itu ialah Allah Pencipta dan Penguasa semesta alam, yang seharusnya semua makhluk mengabdi dan menghambakan diri kepadaNya[7]
            Berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an di atas, maka dapat diketahui bahwa tauhid merupakan ajaran yang sangat esensial dalam al-Qur’an. Selain itu, tauhid adalah misi risalah terpenting yang telah diajarkan oleh para nabi dan rasul sebelum Nabi Muhammad, karena tauhid atau mengesakan Tuhan juga ajaran universal yang menjadi ajaran semua agama samawi yang masih asli. Kisah Luqman yang memberikan nasihat kepada anaknya untuk tidak mempersekutukan Allah SWT dengan yang lain, merupakan prinsip tauhid dalam suatu pendidikan. Sehingga Allah SWT mengingatkan Nabi Muhammad akan kisah Luqman tersebut. Hal ini sesuai dengan fitrah manusia ketika di lahirkan. Rasulullah SAW teah menjelaskan bahwa setiap anak lahir diatas fitrah aqidah tauhid dan condong terfitrah mengenal penciptanya yang mengadakan sesuatu dari tidak ada menjadi wujud, tidak menyekutukanNya dan tidak menyembah kepada selainNya. Akan tetapi lingkungan yang merubah anak dan menyelewengkan dari asli fitrahnya.[8]
            Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda:
مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلاَّ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ ، أَوْ يُنَصِّرَانِهِ ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاء

“Tidaklah seorang anak terlahir melainkan dalam keadaan fitrah, kedua orangtuanyalah yang merubah menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi; seperti hewan yang sehat dan tidak cacat melahirkan yang sehat, apakah kalian mendapatkannya (melahirkan keturunan) yang cacat.”(HR. Aswad bin Sari’)

Al-Ghazali mengatakan bahwa, akidah tauhid sehaursnya diajarkan sedini mungkin kepada anak-anak pada pertumbuhannya. Supaya dihafalkan dengan baik, kemudiann berangsur-angsur memahami pengertian apa yang di hafalnya itu. Setelah dipahami dan dimengerti, akidah tauhid tersebut diyakini dan dipercayai.[9]
Pembinaan ini keimanan ini merupakan hal yang mendasar dan fundamental dalam pendidikan Islam, karena dari keimanan inilah berpangkalnya segala peribadatan. Makin tebal iman seseorang makin baik ibadahnya, karena peribadatan merupakan manifesatsi dari keimanan. Ibadat yang menjadi manifestasi iman seseorang itu bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah, agar dengan demikian roh manusia selalu diingatkan pada hal-hal yang bersih lagi suci, sehingga akhirnya rasa kesucian seseorang menjadi kuat dan tajam. Roh suci membawa kepada akhlak yang baik.[10]
Masalah pendidikan tauhid atau keimanan ini telah diprioritaskan dalam pendidikan Islam untuk upaya pembentukan kepribadian muslim, sebagaimana diilustrasikan berturut-turut dalam QS.Luqman (31): 13, 14, 17, 18 dan 19. Dalam ayat tersebut terkandung tiga ajaran pokok Islam, yaitu masalah keimanan atau ketauhidan, masalah akhlak dan masalah peribadatan. Manusia harus memiliki jiwa tauhid sehingga ia menjadi manusia yang beriman dengan sebenarnya iman. Salah satu usaha untuk menanamkan dan menguatkan jiwa tauhid adalah melalui pendidikan. Namun, pendidikan itu pun harus memiliki prinsip tauhid. Pendidikan dengan tauhid sebagai prinsip utama akan memberi nila tambah bagi manusia dan menumbuhkan kepercayaan pada dirinya serta mempunyai pegangan hidup yang benar. Bagi orag yang tidak menjadikan tauhid sebagai dasar pendidikan maka ia seakan kehilangan tempat berpijak. Keimanan akan menjadikan si pemiliknya mampu untuk mengendalikan hawa nafsu, dan menempatkan pada ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul, tempat memulangkan segala persoalan yang diperselisihkan.[11]
            Pendidikan bermula dari prinsip Tauhid. Hal inilah yang menjadi dasar pijakan dalam pandangan terhadap pendidikan. Prinsip Tauhid mencakup konsep filosofis maupun metodologis yang terstruktur dan koheren terhadap pemahaman kita terhadap dunia dan seluruh aspek kehidupan. Tauhid mengajarkan kita untuk menghimpun pandangan yang holistik, terpadu, dan komprehensif terhadap pendidikan.
            Pendidikan modern (baik Islam maupun Barat) secara umum berdasarkan pandangan pendidikan yang tidak koheren dan parsial, sehingga siswa dan guru jarang sekali punya pandangan yang sama tentang proses pendidikan secara menyeluruh. Kebanyakan siswa meninggalkan sekolah sekitar umur 13-17 tahun tanpa mempunyai tujuan hidup yang jelas, bahkan yang mereka pikirkan hanya mendapatkan kerja.
            Lebih dari itu, prinsip Tauhid menuntut para pendidik mempunyai pandangan yang menyeluruh dan tujuan sejati terhadap pendidikan dan kehidupan itu sendiri. Oleh karena itu, konsep Tauhid harus menjadi landasan tentang bagaimana kita mendidik anak, termasuk (1) apa yang diajarkan (isi), (2) bagaimana kita mengorganisir dan apa yang harus diajarkan, (3) bagaimana kita mengajarkannya. Akhirnya, Tauhid haruslah membentuk fondasi pemikiran, metodologi, dan praktik pendidikan kita.[12]

B.       INTEGRAL, UNIVERSAL, DAN HARMONIS
Pendidikan yang integral, universal, dan harmonis dalam pandangan Mohammad Natsir tidak mengenal dikotomi antara pendidikan agama dengan pendidikan umum, sebaliknya dimaksudkan untuk mewujudkan adanya keterpaduan dan keseimbangan.[13]
Menurut Muhammad Tholhah Hasan, manusia dibekali Tuhan dengan beberapa potensi dasar, yang sangat membantu manusia dalam melakukan kegiatan-kegiatan hidupnya. Potensi-potensi dasar itu berupa : Potensi ragawi (fisik), potensi nalar (akal/ratio) dan potensi hati-nurani (qalbu). Menurtnya, apabila pengembangan potensi dasar manusia tersebut tidak dilakukan secara seimbang dan harmonis, dampaknya mewujudkan hadirnya manusia-manusia pecah kepribadiannya dan krisis dimensi, kuat atau tapi bodoh atau cerdas tapi jahat, bahkan mungkin menjadikan manusia yang etis tapi lemah. Masyarakat inudstri yang muncul sekarang, umumnya merupakan kumpulan manusia-manusia privat yang berhubungan satu sama lain sangat lepas, yang memberikan prioritas-prioritas kepada kepuasan-kepuasan pribadi, egosentris, tidak peka terhadap usaha-usaha bersifat kolektif. Rupanya sebab-sebab yang pada hakekatnya bersifat ekonomis, menimbulakn gejala-gejala sekunder dalam aspek kejiawaan dan kerohanian.[14]
Islam sebagai agama yang sempurna telah memberikan pijakan yang jelas tentang tujuan dan hakikat pendidikan, yakni memberdayakan potensi fitrah manusia secara utuh (integral) baik jasmani, rohani dan akal agar dapat menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah yang mengabdi dengan setia lewar ibadah kepada-Nya.[15] Allah berfirman:

56.  Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.( QS. al-Dzariyat: 56)

            Setelah itu, manusia disiapkan untuk menjalankan misi yang dibebankan kepadanya sebagai khalifah Allah di bumi yang bertugas untuk mengatur, mengelola dan memakmurkan bumi ini dengan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya. Allah berfirman:

14. kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat.(QS. Yunus; 14)

            Fungsi manusia sebagai khalifah dan abid merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, melainkan harus dicapai secara simultan. Oleh karena itu, pendidikan harus berusaha menyeimbangkan dan menyelaraskan kehidupan baik material maupun spiritual, individu maupun sosial, pengetahuan dan moral yang terintegrasi dalam kerangka yang utuh, sehingga tercapaisecara  keseimbangan hidup antar dunia dan akhirat. Selain itu ajaran Islam tidak mengenal antara ilmu agama dan ilmu umum. Dalam arti, tidak ada pandangan dikotomis mengenai ilmu pengetahuan. Kedua ilmu tersebut harus dimiliki secara integral, agar fungsi khalifah dan abid tadi terlaksana dengan maksimal.[16]
Allah berfirman:

77.  Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. Al-Qashas : 77)

Tafsir
            Beberapa orang dari kaum Nabi Musa as. Itu melanjutkan nasihatnya kepada Qarun bahwa nasihat ini bukan berarti engkau hanya boleh beribadah murni dan melarangmu memperhatikan dunia. Tidak! Berusahalah sekuat tenaga dan pikiranmu dalam batas yang dibenarkan Allah untuk memperoleh harta dan hiasan duniawi dan carilah secara bersungguh-sungguh pada yakni melalui apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu dari hasil usahamu itu kebahagiaan negeri akhirat, dengan menginfakkan dan menggunakannya sesuai petunjuk Allah dan dalam saat yang sama janganlah melupakan yakni mengabaikan bagianmu dari kenikmatan dunia dan berbuat baiklah kepada semua pihak, sebagaimana atau disebabkan karena Alla telah berbuat baik kepadamu dengan aneka nikmat-Nya, dan janganlah engkau berbuat kerusakan dalam bentuk apapun di bagian manapun di bumi ini. Sesungguhnya Allah tidak menyukai para pembuat kerusakan.[17]
Dalam pandangan Islam, hidup duniawi dan ukhrawi merupakan satu kesatuan. Dunia adalah tempat menanam dan akhirat adalah tempat menuai. Apa yang anda tanam di sini, akan memperolehnya di sana. Islam tidak mengenal istilah amal dunia dan amal akhirat. Kalaupun ingin menggunakan istilah, maka kita harus berkata bahwa: “Semua amal dapat menjadi amal dunia – walau shalat dan sedekah – bila ia tidak tulus.” Semua amal pun dapat menjadi amal akhirat jika ia disertai dengan keimanan dan ketulusan demi untuk mendekatkan diri kepada Allah, walaupun amal itu adalah pemenuhan naluri seksual.[18]
Berpijak pada konsep al-Qur’an di atas tergambar bahwa pendidikan Islam berusaha memadukan unsur duniawiyah dan unsur ukhrawiyah. Pendidikan merupakan suatu proses membina seluruh potensi manusia sebagai makhluk yang beriman dan bertakwa, berpikir dan berkarya untuk kemaslahatan diri dan lingkungannya dan menyiapkan mereka untuk merealisasikan fungsi kehambaan kepada Allah dan misi kekhalifahannya di muka bumi sebagai makhluk yang memakmurkan kehidupan bersama dengan aman, damai dan sejahtera.[19]
Islam tidak melakukan pemisahan antara ilmu (sains) dengan agama (al-Din). Dalam Islam, pengertian ilmu bersifat komprehensif. Karena itu pendidikan Islam harus bersifat komprehensif, yakni mencakup rasional, estetis dan etis. Ketiga aspek itu tidak dapat dipisahkan dan dilaksanakan secara integral.[20] Dalam kesatuan pengetahuan yang mencakup berbagai disiplin ilmu dan seni, pendidikan Islam menghargai dan menganggap penting semua pengetahuan yang berguna bagi individu dan masyarakat, tanpa membeda-bedakan antara ilmu keagamaan dan ilmu keduaniaan. Pendidikan Islam menekankan pentingnya setiap individu memiliki ilmu keagamaan yang cukup untuk melaksanakan ibadah serta ilmu keduniaan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Semua hal tersebut tidak mengenal dikotomi, karena semua ilmu tersebut adalah bersumber dari yang sama, yaitu al-Qur’an dan Hadis.[21]
Allah SWT berfirman

122. tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.(QS. al-Taubah: 122)

Dengan landasan filosofis seperti itulah, dalam sejarahnya Islam telah membuktikan sebagai umat yang memiliki peradaban gemilang dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan mengungguli kejayaan Barat pada zamannya. Pendidikan Islam terpadu berangkat dari paradigma pendidikan integralistik yang merupakan model pendidikan yang diorientasikan pada komponen-komponen kehidupan yang meliputi: (1) Pendidikan yang berorientasi pada rabbaniyah (ketuhanan), insaniyah (kemanusiaan) dan alamiyah (alam pada umumnya) sebagai sesuatu yang terpadu bagi kehidupan yang baik, dan untuk mewujudkan rahmatan lil ‘alamin, (2) Pendidikan yang menganggap manusia sebagai sebuah pribadi yang utuh, jasmani-rohani, intelektual, perasaan, dan individual-sosial.[22]
Dengan upaya semacam ini, maka sistem pendidikan terpadu diharapkan dapat mengintegrasikan antara nilai-nilai agama dan nilai-nilai ilmu pengetahuan yang pada gilirannya mampu melahirkan manusia yang memiliki kematangan profesional dan kematangan sprittual. Dalam prosesnya, pendidikan harus berusaha membangun manusia berkualitas yang ditandai dengan peningkatan kecerdasan, pengetahuan, keterampilan dan ketakwaan, sehingga terbentuk ulama’ dalam pengertian yang sesungguhnya.[23]
C.       IBADAH DAN KESEIMBANGAN YANG KOKOH
Pada prinsipnya, setiap perbuatan orang mukmin yang ditujukan untuk mencapai keridhaan Allah SWT. Termasuk dalam pengertian ibadah.

56.  Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.( QS. al-Dzariyat: 56)

Atas dasar prinsip tersebut proses pendidikan pun merupakan ibadah kepada Allah SWT. Guru yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain adalah orang yang beribadah kepada Allah SWT. Demikian pula siswa yang sedang mencari kebenaran.[24]

11. Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS.al-Mujadilah: 11)

            Masa kanak-kanak dan masa remaja-proses pendidikan dalam waktu yang dilakukan sepanjang hayat-merupakan fase penting dalam pendidikan karena pendidikan Islam menekankan kontinuitas pembelajaran sepanjang hayat sebagai salah satu bentuk ibadah.

114.  Maka Maha Tinggi Allah raja yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al qur'an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan Katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan. (QS. Thaha: 114)


            Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa apabila jibril datang membawa wahyu, Nabi SAW. Bersusah payah menghafalkannya hingga menyusahkan dirinya sendiri. Baliau takut kalau-kalau Jibril kembali sebelum ia hafal. Maka turunlah ayat ini (QS. Thaha: 114) sebagai teguran agar tidak terburu-buru menghafalnya sebelum wahyu itu selesai diturunkan.[25]          
Tafsir
“Maha Tinggi Allah yang mempunyai kekuasaan lagi Maha Benar”
            Maka Maha Suci Allah penguasa yang berhak mengazab seseorang sebelum diberi peringatan dan sebelum dibangkitkan rasul. Firman Alah ini mendorong kita untuk mempelajari al-Qur’an dan menerangkan segala macamancaman dalam al-Qur’an adalah siasat ketuhanan yang mendatangkan kebaikan di dunia dan  akhirat.
“Janganlah kamu terburu-buru membaca al-Qur’an sebelum selesai diwahyukan kepadamu.”
            Janganlah kamu cepat-cepat membaca al-Qur’an sebaik yang disampaikan jibril, tetapi tunggulah sampai Jibril selesai menyampaikan wahyu kepada Muhammad. Apabila Jibril menyampaikan al-Qur’an kepada Rasulullah, beliau terus mengikuti pembacaannya, lafal demi lafal, kalimat demi kalimat, karena takut akan terjadi ada kalimat yang terlewatkan dari hafalannya. Allah menyuruh Muhammad menunggu sampai seluruh wahyu yang disampaikan oleh Jibril. Dengarlah baik-baik ketika wahyu diturunkan. Setelah Jibril selesai membacakan, maka kamu mengikuti pembacaannya.
“Dan mohonlah kepada Allah: Wahai Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu.”
            Mohonlah kepada Allah supaya Dia selalu menambahkan ilmu kepadamu. Tidak usah tergesa-gesa. Sebab apa yang diwahyukan kepadamu pasti kekal.[26]
            Iman dan pengetahuan saja belum cukup untuk menyelamatkan manusia dari kerugian atau membawa keberuntungan di dunia dan akhirat. Untuk mewujudkan keselamatan dan keberuntungan di dunia adan akhirat, amal saleh merupakan unsur penting perbuatan yang mesti dikerjakan manusia. Allah SWT sangat mencela orang yang berbicara tentang kebaikan akan tetapi tidak pernah mengerjakannya.

2. Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?
3. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. Q.S. al-Shaff: 2-3)

            Ungkapan Allah SWT. Yang bernada mencela akan tetapi disampaikan dengan redaksi yang indah di atas menampakkan pentingnya keseimbangan, yaitu anatara teori dan praktek, perlunya pengamalan terhadap teori yang telah diketahui, dan teori tidak hanya tinggal dalam teori saja. Pentingnya pengamalan pengetahuan sesuai dengan nada firman di atas agar tidak terjadi celaan Allah. SWT.[27]


[1] Mohammad Irfan dan Mastuki, Teologi Pendidikan, (Jakarta: Friska Agung Insani, 2000), h. 13
[2] Al-Maghribi bin as-Said al-Maghribi, Tertemah: Begini Seharusnya Mendidik Anak: Panduan mendidik anak sejak masa kandungan hingga dewasa, (Jakarta: Daru Haq, 2004), h.136
[3] H.A.R. Gibb and Kramers (eds), Shorter Encyclopaedia of Islam (Leiden: E.J. Brill, 1961), h. 586
[4] Wahbat al-Zuhaily, Al-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syari’at wa al-Manhaj, Juz 30 (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1991), h. 464.
[5] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Tjabariy, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Aiy al-Qur’an, Juz 17 (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), h. 15
[6] A. Fatah Yasin, Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam, (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 121
[7] Bustami A. Gani dkk, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf UII, 1990), h. 634.
[8] A. Fatah Yasin, Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam, h. 102
[9] Abu Hamid muhammad al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid I (Semarang: Toha Putra, t.th), h. 93
[10] Harun Nasution, Manusia menurut Konsep Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 71
[11] A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam,  h. 110
[12] M. Zainudin, Paradigma Pendidikan Terpadu, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), h. 109
[13]  Mohammad Natsir, Pemikiran Pendidikan Islam, h. 120
[14] Muhammad Tholhah Hasan, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Lantabora Press, 2005), h. 106.
[15] M. Zainudin, Paradigma Pendidikan Terpadu, h. 45
[16] Ibid., h. 46
[17] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 405
[18] Ibid., h. 406
[19] M. Zainudin, Paradigma Pendidikan Terpadu: menyiapkan generasi ulul albab, (Malang: UIN Malang Press, 2008), h.46
[20] Fu’ad hasan, Pendidikan Islam dalam sorotan: Catatan selayang pandang (Jakarta: dimuat dalam suara masjid, 1985), h. 52
[21] Abudin Nata, Pendidikan Dalam Perspektif Hadis, h. 102
[22] Ibid, h. 47
[23] M. Zainudin, Paradigma Pendidikan Terpadu: menyiapkan generasi ulul albab, h.48
[24] Abudin Nata, Pendidikan Dalam Perspektif Hadis, h. 99
[25] Shaleh dkk, Asbabun Nuzul: Latar belakang Historis turunnya ayat-ayat al-Qur’an, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2007), h. 348  
[26] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2000), jilid 3, h.170.
[27] Abudin Nata, Pendidikan Dalam Perspektif Hadis, h. 104